Seorang perempuan bernama Elizabeth D. Inandiak, berhasil menguak satu lembar sastra Jawa yang tersembunyi dan hampir terlupakan ke dalam kancah dunia sastra Indonesia yang sedang sumringah dengan terbitnya berbagai jenis buku dan tulisan.
Dengan cerdasnya Elizabeth melakukan terobosan dengan menerjemahkan ribuan halaman naskah tembang Jawa tua yang sudah berusia lebih dari 2 abad ke dalam tulisan Latin yang hampir pasti akan menyalahi pakem tembang dalam sejarah penulisan sastra Jawa yang kental dengan penafsiran akan Suluk atau Nyanyian atau ajaran yang dinyanyikan secara sacral dalam ritual-ritual kebudayaan Jawa. Elizabeth juga melakukan interpretasi terhadap berbagai penokohan dan dialog dalam tembang tersebut untuk membuatnya lebih dinamis di dalam buku, hal ihwalnya Suluk ini bukanlah untuk dibaca tapi didengarkan dalam tembang. Seperti di tulis Elizabeth di prakata atau penjelasan awal dalam buku “Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan” (hal.9), Dalam sastra Jawa kuno, suara merasuki penyair bagai suatu wahyu yang datang lebih dulu, baru kemudian lahirlah irama dan ragam menemani si pujangga memasuki kata-kata satu per satu. Penyesuaian antara irama, macapat dan gema kata-kata itulah yang menciptakan makna suluk dan keindahannya. Di dalam syair-syair cabul, kekotoran kata dihalau terbang oleh keanggunan tembangnya.Justru perpaduan antara Lumpur dan emas itulah yang membentuk watak dan sosok yang luar biasa serta khas Serat Centhini .
Keseluruhan terjemahan ED. Inandiak dari disertasinya tentang Serat Centhini yang sudah diterbitkan Bahasa Indonesia adalah 4 buku, Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, Minggatnya Cebolang, Ia Yang Memikul Raganya dan Nafsu Terakhir.
Mengapa Serat Centhini
Dalam banyak kehidupan manusia, kita mengenal ajaran nyanyian atau tembang atau bahkan berbalas pantun, dimana isi dari ungkapan-ungkapan di dalamnya mengajarkan perumpamaan untuk menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Tidak sedikit ajaran-ajaran agama juga memiliki tembangnya sendiri, seperti dalam agama Kristiani, di dalam Kitab Suci ada bagian disebutkan sebagai mazmur, atau puji-pujian kepada Allah. Di dalamnya juga bisa kita tangkap beberapa kata yang menggambarkan hubungan harmonis antara makhluk hidup yang ada di bumi ini, sebagai penghormatan kepada Sang Penciptanya.
Centhini begitu melupakan dirinya sendiri
dan begitu mengabdi kepada para junjungannya sehingga akhirnya dia
memudar, padu lebur dan larut, lenyap dari Suluk, pulang ke dzatnya yang
sejati, ilahi.
Serat Centhini atau dalam judul aslinya Suluk Tembangraras , adalah salah satu hasil karya sastra Jawa Kuno, dikabarkan disusun pada 1809 Masehi, atas perintah putera mahkota Kesultanan Surakarta Hadiningrat di Pulau Jawa kepada tiga pujangganya Sastranagara, Ranggasutrasna dan Sastradipura untuk menyusun suatu cerita (Jawa) kuno yang merangkum segala ilmu dan ngelmu Jawa bahkan hingga seni hidup, agar pendengarnya hanyut dalam kesadaran tak berakal. (Tembang 1). Maka pergilah tiga punjangga ini ke penjuru tanah Jawa bahkan sampai ke bagian Barat (sampai ke Mekah) untuk menghimpun segala kearifan dan penyimpangan di kalangan petapa, peramal, empu dan pandai besi dll. Kisah intinya berkisar
tentang perjalanan Jayengresmi atau lebih dikenal sebagai Syekh Amongraga putra
Sunan Giri yang termasyhur sebagai manusia unggul, aulia mujedub. Tokoh Jayengresmi
atau Amongraga mewakili berbagai sisi perilaku dan watak manusia, yang di satu
sisi penuh kekuatiran, kecemasan dan keingintahuan. Tetapi di sisi lain
memiliki kekuatan, kemampuan berpikir, mencintai, menghamba pada Tuhannya,
bahkan juga mencoba mencapai kesempurnaan sebagai manusia yang mengalahkan
nafsunya sendiri.
Yang
berkeliaran di antara tembang
Di
awal buku, kita melihat keliaran keajaiban pada tembang 2 sampai tembang 5,
diceritakan asal usul silsilah keluarga dan orangtua dari Jayengresmi, yaitu
kakek Jayengresmi yang adalah Syekh Walilanang, seorang muslim dari Jedah yang
mencoba masuk ke Kerajaan Blambangan sebagai benteng terakhir dari peradaban
Majapahit di Jawa. Dengan kekuatannya, Syekh Walilanang berhasil menyembuhkan
penyakit puteri raja dan mempersuntingnya, dengan harapan raja dan seluruh
kerajaan bisa mengikuti ajaran agama Islam.
Menarik
melihat latarbelakang penyebaran agama Islam dan keruntuhan dari kerajaan
Majapahit yang menyembah dewa Siwa (Budha). Dituliskan di berbagai bagian
tembang mengenai “aspek negatif” dari para penyembah Dewa Siwa dari laskar
Majapahit dan bagaimana para penyebar agama Islam tersebut termasuk Syekh
Walilanang dan anaknya Sunan Giri berusaha mengembalikan masyarakat “Jawa”
untuk kembali ke jalan yang “benar” dengan menganut agama Islam. Perspektif
Islam sangat kuat dalam tembang-tembang di Serat Centhini
, terutama memang berdasarkan cerita mengenai penyebaran agama Islam dan
bagaimana kaidah-kaidah agama Islam menjadi patokan dalam perumpamaan dan
ajaran-ajaran yang coba dikawinkan dengan ngelmu Jawa Kuno.
Selanjutnya
tercerita mengarah tentang Gajah Mada menyerang daerah kekuasaan Sunan Giri dan
menghancurkan “kerajaannya” termasuk murid-muridnya. Sunan Giri yang murka
mengeluarkan kekuatan gaibnya dan mengusir prajurit Gajah Mada dari
tanahnya.Ketika Sunan Giri wafat dan diganti cucunya, kerajaan Majapahit balik
menyerang dan berhasil menghancurkan kekuasaan Giri. Sunan Giri muda lari dan
malah terlindungi oleh lebah ajaib yang menghancurkan prajurit dan kerajaan
Majapahit.
Masuk
ke tembang ketujuh, kita melihat bagaimana Sultan Agung yang dulu sangat
berkuasa itu, yang dipercaya memiliki dua Kerajaan, di bumi (Jawa) dan di laut
Selatan (penguasa Lautan bersama Ratunya Ratu Kidul). Sultan Agung sangat ingin
menguasai Kekhalifan Giri (yang dikuasai keluarga Sunan Giri muda, keturunan
Sunan Giri) walaupun pada saat bersamaan sudah terjadi pertalian kekeluargaan
karena pernikahan. Peperangan tidak bisa dihindari lagi, sehingga jelaslah,
Keluarga Sunan Giri dalam mara bahaya karena penumpasan yang dilakukan Sultan
Agung. Putera sulung Sunan Giri, yaitu Jayengresmi terpisah dari kedua adiknya
dalam pertempuran hebat yang melanda kerajaannya. Dikisahkan betapa Jayengresmi
tidak mengerti awalnya atas keputusan perang yang dipilih ayahandanya, tetapi
memilih mematuhi dan menjalan titah sebagai anak yang patuh dan setia.
Digambarkan
bagaimana hubungan antara orang tua dan anaknya sebagai suatu keharusan untuk
mematuhi karena berbagai keputusan penting keluarga layaknya menjadi perintah
tetap atau menjadi ketetapan yang absolute, layaknya suatu kebijakan yang
dibuat suatu Negara, apapun itu konsekuensinya.
Cinta
yang penuh makna
Dalam
pelariannya dan pencarian adik-adiknya Jayengresmi yang merubah namanya menjadi
Amongraga dihadapkan pada pencarian akan dirinya sendiri. Terlibat dalam ajaran
agama Islam yang taat dan cukup ketat. Perjalanan Jayengresmi dalam buku
Elizabeth terbagi lagi dalam buku lainnya yaitu Ia Yang Memikul Raganya dan
juga Nafsu Terakhir, yang dianggap paling eksplisit mengungkapkan relasi
hubungan seksual jaman Jawa kuno. Uniknya, keseluruhan deskripsi tentang
perilaku seksual di jaman dahulu sama sekali tidak memiliki tedeng aling-aling
terhadap perilaku seksual yang dianggap “menyimpang” bahkan ungkapan gamblang
tentang hubungan seks antar sesama jenis dan hubungan seks dengan Perempuan
muda di bawah umur.
Singkatnya,
dalam buku Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, Amongraga jatuh cinta dan
bertemu dengan seorang Perempuan cantik bernama Tembangraras (atau Ken
Tembangraras) putri seorang Kyai pesantren, Ki Panurta di suatu tempat bernama
pondok Wanamarta. Di tempat ini Amongraga banyak bersemedi dan mendekatkan diri
pada Tuhan. Setelah menikahi Tembangraras, yang selalu diikuti pembantu
setianya Centhini, Amongraga memilih untuk mengenal istrinya dengan lebih baik
selama empat puluh malam lebih dan menyiraminya dengan hujan kata-kata rohani
bagi peningkatan diri sang istri dan juga kebersamaan yang romantis. Amongraga
tidak menyentuh istrinya tetapi nurani dan akal pikirannya dengan berbagai
tembang berisikan filosofi hidup yang penuh interpretasi.
Sampai
di sini, buku Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, kalau boleh saya bilang bisa
disandingkan dengan The Prophet miliknya Khalil Gibran. Dari tembang 71 sampai
111, penuh dengan filosofi kehidupan yang begitu dalam dan bagaimana memandang
hidup dengan berbeda. Mengapa Amongraga melakukan ini kepada sang istri?
Amongraga
mengatakan di awalnya bahwa “Namun hatimu sudah dalam hatiku dan hatiku dalam
hatimu, kau dengarkah keduanya berdebar-debar gugup karena asmara ? Padahal
kegugupan adalah halangan sanggama.”
Bait
ini dirasakan begitu menyentuh, ketika sepasang kekasih yang gelisah menanti
malam pertama, malahan harus menahan diri dari luapan gairah dan seluruh reaksi
kimiawi dirinya untuk merasakan tubuh satu sama lain layaknya pengantin baru.
Suatu ujian atas nafsu birahi dan pengakuan terhadap penghormatan akan satu sama
lain. Amongraga merasakan bahwa mencintai dan mengenali pasangan bukan hanya
dari persetubuhan tetapi dari suatu hal yang lebih mendalam. Suatu filosofi
kehidupan yang sebenarnya sudah kurang banyak diterapkan dalam kehidupan
manusia modern. Sastra Jawa membuktikan bahwa makna cinta dulu selayaknya punya
interpretasi lain, bukan hanya kebersamaan fisik dan gairah asmara .
Lanjutnya
Amongraga juga mengatakan, Jika kau tidak keberatan Dinda, dan dengan rahmat
Allah, mulai malam ini berdua kita akan berlayar dalam diam, menentramkan nafas
satu dalam lainnya, dan agar kau jadi buritan dan aku haluan. Awalnya pelayaran
ini akan terasa kejam penuh larangan sebab ancaman karam sangat besar, kita
akan dibawa selama empat puluh malam mengarungi tujuh lautan, silih berganti.
Kata-kata
Amongraga yang bijak tentang kebersamaan sepasang suami istri, untuk saling
memahami dan saling mengerti atau sepakat dalam kata, belajar bersama melewati
berbagai badai yang akan dirasakan dan juga mencoba berdamai satu sama lain
selama 40 hari masa perkenalan mereka. Suatu yang romantis juga unik. Bukankah
jaman sekarang kecenderungan cinta tanpa eros seperti ini sudah tidak ada lagi.
Bandingkan
kata-kata cinta Amongraga dengan Khalil Gibran dalam the Prophet:
Love
possesses not nor would it be possessed;
For love is sufficient unto love.
When you love you should not say, “God is in my heart,” but rather, I am in the heart of God.”
And think not you can direct the course of love, if it finds you worthy, directs your course.
Love has no other desire but to fulfil itself.
But if you love and must needs have desires, let these be your desires:
For love is sufficient unto love.
When you love you should not say, “God is in my heart,” but rather, I am in the heart of God.”
And think not you can direct the course of love, if it finds you worthy, directs your course.
Love has no other desire but to fulfil itself.
But if you love and must needs have desires, let these be your desires:
Amongraga
mengatakan, dengan rahmat Allah kita berlayar dalam diam, sementara Gibran
mengatakan, ketika kau mencintai janganlah berkata,”Tuhan ada dalam hatiku”
tapi yang benar adalah, “Aku bertahta dalam hati Tuhan. Jangan berpikir kamu
bisa mengarahkan cinta, tapi bila memang kau dianggap layak, ia akan
mengarahkan layarmu”. Betapa begitu bersinggungannya kedua tembang tersebut.
Keduanya menceritakan bahwa cinta tidak lepas dari rahmat dan titipan yang
Maaha Kuasa atau sang Pencipta. Hanya dengan berserah diri pada Tuhan maka
cinta itu bisa ada dan bisa hidup.
Di
tembang lainnya, Amongraga mengajak Tembangraras mengenal dasar pilar kehidupan
tentang hukum, hakekat dan ilmu pengetahuan. Katanya: Hukum adalah tanah,
sedangkan Hakekat dan Ilmu adalah benih. Bila benih itu jatuh di tanah gersang,
ia hanya menghasilkan semak belukar. Oleh karenanya pengetahuannya mengenai
hokum haruslah kuat sebelum kamu menjelajahi jalan menuju ke Hakikat dan Ilmu.
Amongraga
mengajarkan istrinya, sebagai perempuan untuk mengetahui dasar hukum tempat
berpijak dan mencari hakikat dan ilmu pengetahuan. Suatu prinsip yang cukup
mengagumkan, apalagi berkaitan dengan pengembangan pengetahuan dan falsafah
hidup bagi perempuan sebagai pribadi mandiri.
Secara
ringkas dalam tembang lainnya, Amongraga mengajarkan istrinya dengan berbagai
ajaran islam, termasuk tentang sholat, nabi Muhammad, juga posisi manusia
sebagai hamba Allah, bagaimana dunia diwujudkan/penciptaan, empat unsur duniawi
yang mengandung zat Allah, bahkan juga tentang senggama dan berbagai hal
lainnya dengan berbagai perumpamaan atau filosofi kehidupan dan nafas islami.
Hampir mirip dalam the Prophet (Khalil Gibran) dimana masing-masing segmen juga
membicarakan berbagai hal terbagi dalam beberapa segmen tentang cinta,
pernikahan, anak-anak, tentang kerja, tentang kebahagiaan dan kepedihan dan
lainnya.
Yang
menarik dari semua perakapan Amongraga dan Tembangraras dalam kelambu tempat
tidur mereka selalu didengarkan oleh sang pembantu atau emban, Centhini yang
dengan setia melupakan keberadaan dirinya dan selalu siap sebagai hamba duduk
menunggu tidak jauh dari pelaminan. Tanpa disadari awalnya oleh Amongraga,
dalam saat bersama ia telah memberikan pengetahuan kepada dua perempuan yang
paling dekat dalam hidupnya pada saat bersamaan. Tentunya ini mungkin menjadi
salah satu alasan mengapa tembang ini begitu terkenal dengan nama Serat centini
, nama seorang hamba sahaja perempuan. Dalam buku, “Nafsu Terakhir” digambarkan
Centhini memiliki kekuatan supranatural dan berhasil membela sang majikannya
dari mara bahaya laki-laki hidung belang. Sebegitu dasyatnya Centhini sehingga
keberadaannya sampai akhir hayatnya tidak disadari siapapun tetapi ia telah
melebur dalam pekerjaannya tanpa pamrih apapun. Centhini hilang dari muka bumi
dan tidak ditemukan siapapun. Kepercayaan ini juga masih dianut oleh ajaran
Buddha dimana manusia yang bisa melampaui keduniawian bisa menghilang dan
sampai ketingkat yang lebih tinggi.
Melihat
ketabahan dan kesabaran Amongraga dan Tembangraras, saya melihat ada suatu
pesan utama dalam Serat Centhini
di buku ini, yaitu mengenai arti cinta dan pernikahan dalam kehidupan manusia.
Manusia hidup dalam satu proses yang berputar atau siklus dimana mencintai dan
dicintai adalah hal yang silih berganti. Ketika bayi manusia dirawat dan
dicintai, ketika dewasa merawat dan mencintai tetapi juga bisa dicintai dan
dirawat sebagai suatu “lingkaran penuh” kehidupan. Apa sebenarnya yang dinanti
manusia selain penemuan akan cinta sejati, kehidupan, kebahagiaan dan kematian?
Apakah kematian dan kebahagiaan bisa berjalan bersama? Semuanya hanya ada di
dalam hati manusia masing-masing. Nilai-nilai ini telah coba ditawarkan oleh Serat Centhini
. Selanjutnya memang kembali kepada kita semua masing-masing untuk mencari
dirinya dan cinta sejatinya.
Kututup dengan ungkapan Amongraga di bagian akhir:
“Kekasihku,
di jalan ada perjumpaan dan sua kembali. Tetapi kita berjalan sendiri-sendiri.
Kubawa ragaku menempuh kemegahaan Suluk, dan kamulah tembang laras Suluk itu.
Kau mengira aku pergi, padahal aku mengembara di dalam dirimu.”
Serat Centhini, Kama Sutra Jawa?
Bicara soal seks dan seksualitas, mungkin lebih mengenal
Kama Sutra dari India daripada Serat Centhini
, karya sástra Jawa kuno yang dirilis di awal abad ke-19. Padahal “manual”
versi lokal ini dipercaya jauh lebih lengkap dan “menantang”.
Tak
ada yang bisa memungkiri, urusan seks selalu saja menarik. Entah dengan
bisik-bisik di antara kaum lelaki di warung kopi, atau di antara kaum perempuan
di sela-sela arisan ibu-ibu se-RT. Kadang juga dibicarakan secara terbuka tapi
terbatas, seperti di ruang seminar atau kesempatan formal lainnya.
Seks
dan seksualitas, dalam pengertian sempit maupun luas, merupakan bagian penting
dalam kehidupan manusia. Ia bagian dari naluri instingtif yang paling dasar.
Tak heran kalau banyak upaya dilakukan untuk mempelajari, menganalisis,
menyusun manual (panduan), atau mengungkapkannya lewat karya sastra maupun
karya tulis lainnya sejak dahulu kala.
Beberapa manual kuno yang pernah ada, bisa kita sebut
misalnya Ars Amatoria (The Art of Love) karya penyair Romawi, Publius Ovidius
Naso (43 SM – 17 M). Atau Kama Sutra karya Vatsyayana dari India, yang ditaksir
hidup di zaman Gupta (sekitar abad ke 1 – 6 M). Keduanya, bukan melihat seks
sebagai subjek penelitian medis dan ilmiah, melainkan sebagai sex manual.
Di
akhir abad ke- 19 dan awal abad ke-20, neurolog dan pakar psikoanalisis asal
Austria, Sigmund Freud (1856 – 1939), mengembangkan sebuah teori tentang
seksualitas yang didasarkan pada studinya terhadap para kliennya.
Nun
jauh di sana, di tanah JaWa pada awal abad ke-19 muncul pula sebuah karya
sastra yang terkenal hingga kini, yaitu Serat Centhini
(nama resminya Suluk Tembangraras ). Serat ini digubah pada sekitar 1815 oleh tiga orang
pujangga istana Kraton Surakarta, yaitu Yasadipura 11, Ranggasutrasna, dan R.
Ng. Sastradipura (Haji Ahmad ilhar) atas perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II
atau Sinuhun Paku Buwana V.
Serat Centhini
yang terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) itu antara lain memang bicara soal
seks dan seksualitas. Justru karena itulah serat ini menjadi termasyhur, bahkan
di kalangan para pakar dunia.
Seorang
kontributor sebuah surat kabar Prancis, Elizabeth D. Inandiak, misalnya, telah
menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis dengan judul Les Chants de l’ile a dormir debout le Livre de
Centhini (2002).
Blak-blakan
Meski
kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton bersifat represif-feodalistik, dalam bidang seksual ternyata
sangat jauh dari apa yang kita bayangkan.
Masalah
seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama sastra dan tari. Dalam Serat Cethinni
, misalnya, masalah seksual ternyata menjadi tema sentral yang diungkap secara
verbal dan terbuka, tanpa tedeng aling-aling, ini sangat berlawanan dengan
etika sosial Jawa yang bersifat puritan dan ortodoks.
Masalah
seksual dalam serat itu diungkapkan dalam berbagai versi dan kasus. “Misalnya,
menyangkut masalah pengertian, sifat, kedudukan dan fungsinya, etika dan tata
cara bermain seks, gaya persetubuhan, dan lain-lain. Bahkan
seks juga dibicarakan dalam kaitannya dengan penikmatan hidup atau pelampiasan
hasrat hedonisme (sebuah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kenikmatan
adalah kebaikan tertinggi atau satu-satunya kebaikan dalam kehidupan).
Dalam Centhini II
(Pupuh Asmaradana) diuraikan dengan gamblang soal “ulah asmara” yang
berhubungan dengan lokasi genital yang sensitif dalam kaitannya dengan
permainan seks. Misalnya, cara membuka atau mempercepat orgasme bagi perempuan,
serta mencegah agar lelaki tidak cepat ejakulasi.
Lalu
dalam Centhini IV
(Pupuh Balabak) diuraikan secara blak-blakan bagaimana pratingkahing cumbana
(gaya persetubuhan) serta sifat-sifat perempuan dan bagaimana cara
membangkitkan nafsu asmaranya.
Terungkap
juga ternyata perempuan tidak selamanya bersikap lugu, pasif dalam masalah seks
sebagaimana stereotipe pandangan Jawa yang selama ini kita terima. Mereka juga
memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal
mereka selalu digambarkan pasrah, nrima kepada lelaki.
Hal
itu tampak dalam Centhini V
(Dhandhanggula). Di ruang belakang di rumah pengantin perempuan pada malam
menjelang hari H perkawinan antara Syekh Amongraga dan NiTembangraras, para
perempuan tua-muda sedang duduk-duduk sambil ngobrol. Ada yang membicarakan
pengalamannya dinikahi lelaki berkali-kali, pengalaman malam pertama, serta
masalah-masalah seksual lainnya yang membuat mereka tertawa cekikikan.
Salah
satu percakapan itu misalnya seperti ini, “Nyai Tengah menjawab sambil
bertanya, Benar dugaanku, Ni Daya, dia memang sangat kesulitan, napasnya
tersengal. Saya batuk saja, eh lepas Mak bul mudah sekali lepasnya. Tak pernah
kukuh di tempatnya. Susahnya sangat terasa, karena meski besar seakan mati.”
Disambut dengan tawa cekikikan.
Tipe
Perempuan
Seperti
diungkap oleh Franz Magnis Suseno dalam Etika Jawa,
adalah fakta bahwa hubungan seksual dalam masyarakat Jawa hanya diizinkan dalam
rangka perkawinan.
Masyarakat
Jawa tidak mengenal masalah seksual sebagai wahana pelampiasan nafsu hedonistik,
penikmatan terhadap hidup, namun pada kenyataannya tidaklah demikian.
“Adanya
sistem budaya katuranggan jelas merupakan penyangkalan terhadap hal itu ”.
Dalam
sejumlah karya sastra Jawa maupun karya tulis lainnya, seperti primbon, soal
katuranggan banyak diungkapkan, termasuk dalam Serat Centhini
. Dalam kaitannya dengan perempuan, katuranggan dapat diartikan sebagai watak,
sifat, atau tanda-tanda berdasarkan penampakan lahiriahnya.
Dalam
budaya katuranggan, terdapat beberapa ciri perempuan yang menjadi idealitas
lelaki untuk dijadikan istri. Tipe-tipe perempuan demikian, di antaranya
disebut guntur madu, merica pecah, tasik madu, sri tumurun, puspa megar, surya
surup, menjangan ketawan, amurwa tarung, atau mutyara.
Sebagai
gambaran, perempuan bertype surya sumurup itu perempuan yang memiliki dua lapis
bibir yang berwarna merah jambu. Sorot matanya kebiru-biruan. Ada sinom (rambut
yang tumbuh di dahi) yang menggumpal. Kedua alisnya nanggal sepisan (laksana
bulan sabit). Perempuan seperti ini menjadi idaman kaum lelaki karena memiliki
kesetiaan tak diragukan lagi. Lebih dari itu, ia tipe perempuan
yang serasi dalam bermain asmara, sehingga dapat mencapai derajat marlupa
(orgasme) bersama-sama.
Ekspresi
budaya katuranggan ini juga terungkap, misalnya dalam Kitab Primbon Lumanakim
Adammakna. Disebutkan, ciri perempuan yang menggairahkan
secara seksual antara lain, bertubuh kecil, wajahnya merah bersemu biru manis,
rambut hitam panjang, sinom menggumpal. Atau, bertubuh kecil, pandangan dan
wajahnya nguwung (agak melengkung), kulit kuning bersemu hijau, sinom
menggumpal. Atau, bertubuh tinggi langsing, badan mbambang (padat berisi),
roman mukanya galak, dan rambutnya panjang. Masih banyak lagi ciri perempuan
menggairahkan lainnya.
Seperti
diungkapkan hal ini tentu saja tidak semua tipe perempuan cocok dengan tipe ideal
seperti itu. Masih ada tipe-tipe lain yang merupakan tipe campuran dari
sebagian atau keseluruhan wacana keluruhan tiap-tiap tipenya. Memang rumit dan
kompleks, karena seks, tidak bisa dinilai hanya dari segi penampilan
lahiriahnya semata. dan pula masalah selera maupun kecocokan itu setiap personal berbeda-beda.
Jamu
dan tatakarama
Ritualisasi
seksual juga diungkapkan dalam Serat Centhini
, termasuk soal tata krama dalam melakukan hubungan seksual antarsuami-istri.
Dalam
berhubungan, misalnya, harus empan papan. Maksudnya, mengetahui situasi,
tempat, dan keadaan, tidak tergesa-gesa, dan juga merupakan keinginan bersama.
Selain
mendasarkan diri pada tata krama menurut budaya Jawa, tata krama ini juga
mendasarkan diri pada hadis Nabi Muhammad SAW. Misalnya, sebelum melakukan
hubungan seksual, seyogianya mandi terlebih dahulu. Setelah itu berdandan dan
memakai wewangian. Sebelum mulai, berdoa lebih dulu dengan mengucapkan
syahadat.
Masyarakat
Jawa juga mengenal kalender seksual. “Ini berkaitan dengan masalah rasa
perempuan, yang berhubungan dengan organ genital seksualnya. Satu asumsi bahwa
setiap hari organ genital seksual yang sensitif pada perempuan selalu berpindah
tempat, sesuai dengan tinggi rendahnya Bulan — ini berdasar pada kalender Jawa.
Dengan mendasarkan pada kalender seksual, pasangan dapat mencapai puncak
kepuasan secara bersama-sama,” . Selain
diungkap mengenai tata cara, etika, dan ritualisasi, dalam Serat Centhini II (Pupuh Asamaradana) diulas pula bentuk-bentuk serta pose
hubungan seksual yang seharusnya dilakukan. Semua itu dimaksudkan agar pasangan
dapat mencapai kepuasan bersama-sama. “Hubungan
seksual tidak hanya sekadar pemuasan nafsu lelaki maupun perempuan, tetapi juga
sebagai bentuk ungkapan perasaan cinta kasih, proses prokreasi, dan seks
sekaligus sebagai wahana ibadah.
Dalam
Serat Centhini IV (Pupuh Balabak) dijelaskan dengan gamblang posisi
berhubungan seksual sebagaimana ajaran Jawa. Dalam melakukan penetrasi,
misalnya, harus tetap pula melihat tipe perempuan pasangannya. Maka kemudian
ada gaya kadya galak sawer (patukannya laksana ular galak); lir ngaras gandane
sekar (seperti meraba baunya bunga); lir bremana ngisep sekar (laksana kumbang
mengisap madu); lir lumaksana pinggire jurang (ibarat berada di tepi jurang);
baita layar anjlog rumambaka (seperti kapal layar turun ke tengah laut) dan
sebagainya.
Dalam
masyarakat Jawa lalu dikenal pula berbagai resep jalu usada (pengobatan
seksual) agar lelaki jadi perkasa. Misalnya, untuk mencegah agar air mani tidak
encer sehingga dapat memperoleh keturunan, seperti dijumpai dalam Serat Centhini VII (Pupuh Dhandhanggula). Resepnya berupa merica sunti dan
cabe wungkuk tujuh buah, garam lanang, arang kayu jati, gula aren seperempat.
Semua bahan itu dipipis hingga lembut di tengah halaman pada saat siang hari.
Sesudah itu dibentuk seperti kapsul.
Jamu
berbentuk mirip kapsul itu ditelan sambil membaca mantra, “Sang dewa senjata
akas-akas, kurang baga luwih akase, kurang baga akukuh, ora ana patine.”