Jumat, 23 September 2011

>> CENTHINI : Tembang Perjalanan Mencari Diri dan Cinta Sejati ( KAMASUTRA JAWA )



Seorang perempuan bernama Elizabeth D. Inandiak, berhasil menguak satu lembar sastra Jawa yang tersembunyi dan hampir terlupakan ke dalam kancah dunia sastra Indonesia yang sedang sumringah dengan terbitnya berbagai jenis buku dan tulisan.
Dengan cerdasnya Elizabeth melakukan terobosan dengan menerjemahkan ribuan halaman naskah tembang Jawa tua yang sudah berusia lebih dari 2 abad ke dalam tulisan Latin yang hampir pasti akan menyalahi pakem tembang dalam sejarah penulisan sastra Jawa yang kental dengan penafsiran akan Suluk atau Nyanyian atau ajaran yang dinyanyikan secara sacral dalam ritual-ritual kebudayaan Jawa. Elizabeth juga melakukan interpretasi terhadap berbagai penokohan dan dialog dalam tembang tersebut untuk membuatnya lebih dinamis di dalam buku, hal ihwalnya Suluk ini bukanlah untuk dibaca tapi didengarkan dalam tembang. Seperti di tulis Elizabeth di prakata atau penjelasan awal dalam buku “Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan” (hal.9), Dalam sastra Jawa kuno, suara merasuki penyair bagai suatu wahyu yang datang lebih dulu, baru kemudian lahirlah irama dan ragam menemani si pujangga memasuki kata-kata satu per satu. Penyesuaian antara irama, macapat dan gema kata-kata itulah yang menciptakan makna suluk dan keindahannya. Di dalam syair-syair cabul, kekotoran kata dihalau terbang oleh keanggunan tembangnya.Justru perpaduan antara Lumpur dan emas itulah yang membentuk watak dan sosok yang luar biasa serta khas Serat Centhini .
Keseluruhan terjemahan ED. Inandiak dari disertasinya tentang Serat Centhini yang sudah diterbitkan Bahasa Indonesia adalah 4 buku, Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, Minggatnya Cebolang, Ia Yang Memikul Raganya dan Nafsu Terakhir.
Mengapa Serat Centhini
Dalam banyak kehidupan manusia, kita mengenal ajaran nyanyian atau tembang atau bahkan berbalas pantun, dimana isi dari ungkapan-ungkapan di dalamnya mengajarkan perumpamaan untuk menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Tidak sedikit ajaran-ajaran agama juga memiliki tembangnya sendiri, seperti dalam agama Kristiani, di dalam Kitab Suci ada bagian disebutkan sebagai mazmur, atau puji-pujian kepada Allah. Di dalamnya juga bisa kita tangkap beberapa kata yang menggambarkan hubungan harmonis antara makhluk hidup yang ada di bumi ini, sebagai penghormatan kepada Sang Penciptanya.

Centhini begitu melupakan dirinya sendiri dan begitu mengabdi kepada para junjungannya sehingga akhirnya dia memudar, padu lebur dan larut, lenyap dari Suluk, pulang ke dzatnya yang sejati, ilahi.
 Serat Centhini atau dalam judul aslinya Suluk Tembangraras , adalah salah satu hasil karya sastra Jawa Kuno, dikabarkan disusun pada 1809 Masehi, atas perintah putera mahkota Kesultanan Surakarta Hadiningrat di Pulau Jawa kepada tiga pujangganya Sastranagara, Ranggasutrasna dan Sastradipura untuk menyusun suatu cerita (Jawa) kuno yang merangkum segala ilmu dan ngelmu Jawa bahkan hingga seni hidup, agar pendengarnya hanyut dalam kesadaran tak berakal. (Tembang 1). Maka pergilah tiga punjangga ini ke penjuru tanah Jawa bahkan sampai ke bagian Barat (sampai ke Mekah) untuk menghimpun segala kearifan dan penyimpangan di kalangan petapa, peramal, empu dan pandai besi dll. Kisah intinya berkisar tentang perjalanan Jayengresmi atau lebih dikenal sebagai Syekh Amongraga putra Sunan Giri yang termasyhur sebagai manusia unggul, aulia mujedub. Tokoh Jayengresmi atau Amongraga mewakili berbagai sisi perilaku dan watak manusia, yang di satu sisi penuh kekuatiran, kecemasan dan keingintahuan. Tetapi di sisi lain memiliki kekuatan, kemampuan berpikir, mencintai, menghamba pada Tuhannya, bahkan juga mencoba mencapai kesempurnaan sebagai manusia yang mengalahkan nafsunya sendiri.
Yang berkeliaran di antara tembang
Di awal buku, kita melihat keliaran keajaiban pada tembang 2 sampai tembang 5, diceritakan asal usul silsilah keluarga dan orangtua dari Jayengresmi, yaitu kakek Jayengresmi yang adalah Syekh Walilanang, seorang muslim dari Jedah yang mencoba masuk ke Kerajaan Blambangan sebagai benteng terakhir dari peradaban Majapahit di Jawa. Dengan kekuatannya, Syekh Walilanang berhasil menyembuhkan penyakit puteri raja dan mempersuntingnya, dengan harapan raja dan seluruh kerajaan bisa mengikuti ajaran agama Islam.
Menarik melihat latarbelakang penyebaran agama Islam dan keruntuhan dari kerajaan Majapahit yang menyembah dewa Siwa (Budha). Dituliskan di berbagai bagian tembang mengenai “aspek negatif” dari para penyembah Dewa Siwa dari laskar Majapahit dan bagaimana para penyebar agama Islam tersebut termasuk Syekh Walilanang dan anaknya Sunan Giri berusaha mengembalikan masyarakat “Jawa” untuk kembali ke jalan yang “benar” dengan menganut agama Islam. Perspektif Islam sangat kuat dalam tembang-tembang di Serat Centhini , terutama memang berdasarkan cerita mengenai penyebaran agama Islam dan bagaimana kaidah-kaidah agama Islam menjadi patokan dalam perumpamaan dan ajaran-ajaran yang coba dikawinkan dengan ngelmu Jawa Kuno.
Selanjutnya tercerita mengarah tentang Gajah Mada menyerang daerah kekuasaan Sunan Giri dan menghancurkan “kerajaannya” termasuk murid-muridnya. Sunan Giri yang murka mengeluarkan kekuatan gaibnya dan mengusir prajurit Gajah Mada dari tanahnya.Ketika Sunan Giri wafat dan diganti cucunya, kerajaan Majapahit balik menyerang dan berhasil menghancurkan kekuasaan Giri. Sunan Giri muda lari dan malah terlindungi oleh lebah ajaib yang menghancurkan prajurit dan kerajaan Majapahit.
Masuk ke tembang ketujuh, kita melihat bagaimana Sultan Agung yang dulu sangat berkuasa itu, yang dipercaya memiliki dua Kerajaan, di bumi (Jawa) dan di laut Selatan (penguasa Lautan bersama Ratunya Ratu Kidul). Sultan Agung sangat ingin menguasai Kekhalifan Giri (yang dikuasai keluarga Sunan Giri muda, keturunan Sunan Giri) walaupun pada saat bersamaan sudah terjadi pertalian kekeluargaan karena pernikahan. Peperangan tidak bisa dihindari lagi, sehingga jelaslah, Keluarga Sunan Giri dalam mara bahaya karena penumpasan yang dilakukan Sultan Agung. Putera sulung Sunan Giri, yaitu Jayengresmi terpisah dari kedua adiknya dalam pertempuran hebat yang melanda kerajaannya. Dikisahkan betapa Jayengresmi tidak mengerti awalnya atas keputusan perang yang dipilih ayahandanya, tetapi memilih mematuhi dan menjalan titah sebagai anak yang patuh dan setia.
Digambarkan bagaimana hubungan antara orang tua dan anaknya sebagai suatu keharusan untuk mematuhi karena berbagai keputusan penting keluarga layaknya menjadi perintah tetap atau menjadi ketetapan yang absolute, layaknya suatu kebijakan yang dibuat suatu Negara, apapun itu konsekuensinya.
Cinta yang penuh makna
Dalam pelariannya dan pencarian adik-adiknya Jayengresmi yang merubah namanya menjadi Amongraga dihadapkan pada pencarian akan dirinya sendiri. Terlibat dalam ajaran agama Islam yang taat dan cukup ketat. Perjalanan Jayengresmi dalam buku Elizabeth terbagi lagi dalam buku lainnya yaitu Ia Yang Memikul Raganya dan juga Nafsu Terakhir, yang dianggap paling eksplisit mengungkapkan relasi hubungan seksual jaman Jawa kuno. Uniknya, keseluruhan deskripsi tentang perilaku seksual di jaman dahulu sama sekali tidak memiliki tedeng aling-aling terhadap perilaku seksual yang dianggap “menyimpang” bahkan ungkapan gamblang tentang hubungan seks antar sesama jenis dan hubungan seks dengan Perempuan muda di bawah umur.
Singkatnya, dalam buku Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, Amongraga jatuh cinta dan bertemu dengan seorang Perempuan cantik bernama Tembangraras (atau Ken Tembangraras) putri seorang Kyai pesantren, Ki Panurta di suatu tempat bernama pondok Wanamarta. Di tempat ini Amongraga banyak bersemedi dan mendekatkan diri pada Tuhan. Setelah menikahi Tembangraras, yang selalu diikuti pembantu setianya Centhini, Amongraga memilih untuk mengenal istrinya dengan lebih baik selama empat puluh malam lebih dan menyiraminya dengan hujan kata-kata rohani bagi peningkatan diri sang istri dan juga kebersamaan yang romantis. Amongraga tidak menyentuh istrinya tetapi nurani dan akal pikirannya dengan berbagai tembang berisikan filosofi hidup yang penuh interpretasi.
Sampai di sini, buku Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, kalau boleh saya bilang bisa disandingkan dengan The Prophet miliknya Khalil Gibran. Dari tembang 71 sampai 111, penuh dengan filosofi kehidupan yang begitu dalam dan bagaimana memandang hidup dengan berbeda. Mengapa Amongraga melakukan ini kepada sang istri?
Amongraga mengatakan di awalnya bahwa “Namun hatimu sudah dalam hatiku dan hatiku dalam hatimu, kau dengarkah keduanya berdebar-debar gugup karena asmara ? Padahal kegugupan adalah halangan sanggama.”
Bait ini dirasakan begitu menyentuh, ketika sepasang kekasih yang gelisah menanti malam pertama, malahan harus menahan diri dari luapan gairah dan seluruh reaksi kimiawi dirinya untuk merasakan tubuh satu sama lain layaknya pengantin baru. Suatu ujian atas nafsu birahi dan pengakuan terhadap penghormatan akan satu sama lain. Amongraga merasakan bahwa mencintai dan mengenali pasangan bukan hanya dari persetubuhan tetapi dari suatu hal yang lebih mendalam. Suatu filosofi kehidupan yang sebenarnya sudah kurang banyak diterapkan dalam kehidupan manusia modern. Sastra Jawa membuktikan bahwa makna cinta dulu selayaknya punya interpretasi lain, bukan hanya kebersamaan fisik dan gairah asmara .
Lanjutnya Amongraga juga mengatakan, Jika kau tidak keberatan Dinda, dan dengan rahmat Allah, mulai malam ini berdua kita akan berlayar dalam diam, menentramkan nafas satu dalam lainnya, dan agar kau jadi buritan dan aku haluan. Awalnya pelayaran ini akan terasa kejam penuh larangan sebab ancaman karam sangat besar, kita akan dibawa selama empat puluh malam mengarungi tujuh lautan, silih berganti.
Kata-kata Amongraga yang bijak tentang kebersamaan sepasang suami istri, untuk saling memahami dan saling mengerti atau sepakat dalam kata, belajar bersama melewati berbagai badai yang akan dirasakan dan juga mencoba berdamai satu sama lain selama 40 hari masa perkenalan mereka. Suatu yang romantis juga unik. Bukankah jaman sekarang kecenderungan cinta tanpa eros seperti ini sudah tidak ada lagi.
Bandingkan kata-kata cinta Amongraga dengan Khalil Gibran dalam the Prophet:
Love possesses not nor would it be possessed;
For love is sufficient unto love.
When you love you should not say, “God is in my heart,” but rather, I am in the heart of God.”
And think not you can direct the course of love, if it finds you worthy, directs your course.
Love has no other desire but to fulfil itself.
But if you love and must needs have desires, let these be your desires:
Amongraga mengatakan, dengan rahmat Allah kita berlayar dalam diam, sementara Gibran mengatakan, ketika kau mencintai janganlah berkata,”Tuhan ada dalam hatiku” tapi yang benar adalah, “Aku bertahta dalam hati Tuhan. Jangan berpikir kamu bisa mengarahkan cinta, tapi bila memang kau dianggap layak, ia akan mengarahkan layarmu”. Betapa begitu bersinggungannya kedua tembang tersebut. Keduanya menceritakan bahwa cinta tidak lepas dari rahmat dan titipan yang Maaha Kuasa atau sang Pencipta. Hanya dengan berserah diri pada Tuhan maka cinta itu bisa ada dan bisa hidup.
Di tembang lainnya, Amongraga mengajak Tembangraras mengenal dasar pilar kehidupan tentang hukum, hakekat dan ilmu pengetahuan. Katanya: Hukum adalah tanah, sedangkan Hakekat dan Ilmu adalah benih. Bila benih itu jatuh di tanah gersang, ia hanya menghasilkan semak belukar. Oleh karenanya pengetahuannya mengenai hokum haruslah kuat sebelum kamu menjelajahi jalan menuju ke Hakikat dan Ilmu.
Amongraga mengajarkan istrinya, sebagai perempuan untuk mengetahui dasar hukum tempat berpijak dan mencari hakikat dan ilmu pengetahuan. Suatu prinsip yang cukup mengagumkan, apalagi berkaitan dengan pengembangan pengetahuan dan falsafah hidup bagi perempuan sebagai pribadi mandiri.
Secara ringkas dalam tembang lainnya, Amongraga mengajarkan istrinya dengan berbagai ajaran islam, termasuk tentang sholat, nabi Muhammad, juga posisi manusia sebagai hamba Allah, bagaimana dunia diwujudkan/penciptaan, empat unsur duniawi yang mengandung zat Allah, bahkan juga tentang senggama dan berbagai hal lainnya dengan berbagai perumpamaan atau filosofi kehidupan dan nafas islami. Hampir mirip dalam the Prophet (Khalil Gibran) dimana masing-masing segmen juga membicarakan berbagai hal terbagi dalam beberapa segmen tentang cinta, pernikahan, anak-anak, tentang kerja, tentang kebahagiaan dan kepedihan dan lainnya.
Yang menarik dari semua perakapan Amongraga dan Tembangraras dalam kelambu tempat tidur mereka selalu didengarkan oleh sang pembantu atau emban, Centhini yang dengan setia melupakan keberadaan dirinya dan selalu siap sebagai hamba duduk menunggu tidak jauh dari pelaminan. Tanpa disadari awalnya oleh Amongraga, dalam saat bersama ia telah memberikan pengetahuan kepada dua perempuan yang paling dekat dalam hidupnya pada saat bersamaan. Tentunya ini mungkin menjadi salah satu alasan mengapa tembang ini begitu terkenal dengan nama Serat centini , nama seorang hamba sahaja perempuan. Dalam buku, “Nafsu Terakhir” digambarkan Centhini memiliki kekuatan supranatural dan berhasil membela sang majikannya dari mara bahaya laki-laki hidung belang. Sebegitu dasyatnya Centhini sehingga keberadaannya sampai akhir hayatnya tidak disadari siapapun tetapi ia telah melebur dalam pekerjaannya tanpa pamrih apapun. Centhini hilang dari muka bumi dan tidak ditemukan siapapun. Kepercayaan ini juga masih dianut oleh ajaran Buddha dimana manusia yang bisa melampaui keduniawian bisa menghilang dan sampai ketingkat yang lebih tinggi.
Melihat ketabahan dan kesabaran Amongraga dan Tembangraras, saya melihat ada suatu pesan utama dalam Serat Centhini di buku ini, yaitu mengenai arti cinta dan pernikahan dalam kehidupan manusia. Manusia hidup dalam satu proses yang berputar atau siklus dimana mencintai dan dicintai adalah hal yang silih berganti. Ketika bayi manusia dirawat dan dicintai, ketika dewasa merawat dan mencintai tetapi juga bisa dicintai dan dirawat sebagai suatu “lingkaran penuh” kehidupan. Apa sebenarnya yang dinanti manusia selain penemuan akan cinta sejati, kehidupan, kebahagiaan dan kematian? Apakah kematian dan kebahagiaan bisa berjalan bersama? Semuanya hanya ada di dalam hati manusia masing-masing. Nilai-nilai ini telah coba ditawarkan oleh Serat Centhini . Selanjutnya memang kembali kepada kita semua masing-masing untuk mencari dirinya dan cinta sejatinya.
Kututup dengan ungkapan Amongraga di bagian akhir:
“Kekasihku, di jalan ada perjumpaan dan sua kembali. Tetapi kita berjalan sendiri-sendiri. Kubawa ragaku menempuh kemegahaan Suluk, dan kamulah tembang laras Suluk itu. Kau mengira aku pergi, padahal aku mengembara di dalam dirimu.”

Serat Centhini, Kama Sutra Jawa?

Bicara soal seks dan seksualitas, mungkin lebih mengenal Kama Sutra dari India daripada Serat Centhini , karya sástra Jawa kuno yang dirilis di awal abad ke-19. Padahal “manual” versi lokal ini dipercaya jauh lebih lengkap dan “menantang”.
Tak ada yang bisa memungkiri, urusan seks selalu saja menarik. Entah dengan bisik-bisik di antara kaum lelaki di warung kopi, atau di antara kaum perempuan di sela-sela arisan ibu-ibu se-RT. Kadang juga dibicarakan secara terbuka tapi terbatas, seperti di ruang seminar atau kesempatan formal lainnya.
Seks dan seksualitas, dalam pengertian sempit maupun luas, merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Ia bagian dari naluri instingtif yang paling dasar. Tak heran kalau banyak upaya dilakukan untuk mempelajari, menganalisis, menyusun manual (panduan), atau mengungkapkannya lewat karya sastra maupun karya tulis lainnya sejak dahulu kala.
Beberapa manual kuno yang pernah ada, bisa kita sebut misalnya Ars Amatoria (The Art of Love) karya penyair Romawi, Publius Ovidius Naso (43 SM – 17 M). Atau Kama Sutra karya Vatsyayana dari India, yang ditaksir hidup di zaman Gupta (sekitar abad ke 1 – 6 M). Keduanya, bukan melihat seks sebagai subjek penelitian medis dan ilmiah, melainkan sebagai sex manual.
Di akhir abad ke- 19 dan awal abad ke-20, neurolog dan pakar psikoanalisis asal Austria, Sigmund Freud (1856 – 1939), mengembangkan sebuah teori tentang seksualitas yang didasarkan pada studinya terhadap para kliennya.
Nun jauh di sana, di tanah JaWa pada awal abad ke-19 muncul pula sebuah karya sastra yang terkenal hingga kini, yaitu Serat Centhini (nama resminya Suluk Tembangraras ). Serat ini digubah pada sekitar 1815 oleh tiga orang pujangga istana Kraton Surakarta, yaitu Yasadipura 11, Ranggasutrasna, dan R. Ng. Sastradipura (Haji Ahmad ilhar) atas perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V.
Serat Centhini yang terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) itu antara lain memang bicara soal seks dan seksualitas. Justru karena itulah serat ini menjadi termasyhur, bahkan di kalangan para pakar dunia.
Seorang kontributor sebuah surat kabar Prancis, Elizabeth D. Inandiak, misalnya, telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis dengan judul Les Chants de l’ile a dormir debout le Livre de Centhini (2002).
Blak-blakan
Meski kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton bersifat represif-feodalistik, dalam bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kita bayangkan.
Masalah seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama sastra dan tari. Dalam Serat Cethinni , misalnya, masalah seksual ternyata menjadi tema sentral yang diungkap secara verbal dan terbuka, tanpa tedeng aling-aling, ini sangat berlawanan dengan etika sosial Jawa yang bersifat puritan dan ortodoks.
         Masalah seksual dalam serat itu diungkapkan dalam berbagai versi dan kasus. “Misalnya, menyangkut masalah pengertian, sifat, kedudukan dan fungsinya, etika dan tata cara bermain seks, gaya persetubuhan, dan lain-lain. Bahkan seks juga dibicarakan dalam kaitannya dengan penikmatan hidup atau pelampiasan hasrat hedonisme (sebuah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kenikmatan adalah kebaikan tertinggi atau satu-satunya kebaikan dalam kehidupan).
            Dalam Centhini II (Pupuh Asmaradana) diuraikan dengan gamblang soal “ulah asmara” yang berhubungan dengan lokasi genital yang sensitif dalam kaitannya dengan permainan seks. Misalnya, cara membuka atau mempercepat orgasme bagi perempuan, serta mencegah agar lelaki tidak cepat ejakulasi.
Lalu dalam Centhini IV (Pupuh Balabak) diuraikan secara blak-blakan bagaimana pratingkahing cumbana (gaya persetubuhan) serta sifat-sifat perempuan dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya.
Terungkap juga ternyata perempuan tidak selamanya bersikap lugu, pasif dalam masalah seks sebagaimana stereotipe pandangan Jawa yang selama ini kita terima. Mereka juga memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal mereka selalu digambarkan pasrah, nrima kepada lelaki.
Hal itu tampak dalam Centhini V (Dhandhanggula). Di ruang belakang di rumah pengantin perempuan pada malam menjelang hari H perkawinan antara Syekh Amongraga dan NiTembangraras, para perempuan tua-muda sedang duduk-duduk sambil ngobrol. Ada yang membicarakan pengalamannya dinikahi lelaki berkali-kali, pengalaman malam pertama, serta masalah-masalah seksual lainnya yang membuat mereka tertawa cekikikan.
Salah satu percakapan itu misalnya seperti ini, “Nyai Tengah menjawab sambil bertanya, Benar dugaanku, Ni Daya, dia memang sangat kesulitan, napasnya tersengal. Saya batuk saja, eh lepas Mak bul mudah sekali lepasnya. Tak pernah kukuh di tempatnya. Susahnya sangat terasa, karena meski besar seakan mati.” Disambut dengan tawa cekikikan.
Tipe Perempuan
         Seperti diungkap oleh Franz Magnis Suseno dalam Etika Jawa,  adalah fakta bahwa hubungan seksual dalam masyarakat Jawa hanya diizinkan dalam rangka perkawinan.
Masyarakat Jawa tidak mengenal masalah seksual sebagai wahana pelampiasan nafsu hedonistik, penikmatan terhadap hidup, namun pada kenyataannya tidaklah demikian.  “Adanya sistem budaya katuranggan jelas merupakan penyangkalan terhadap hal itu ”.
      Dalam sejumlah karya sastra Jawa maupun karya tulis lainnya, seperti primbon, soal katuranggan banyak diungkapkan, termasuk dalam Serat Centhini . Dalam kaitannya dengan perempuan, katuranggan dapat diartikan sebagai watak, sifat, atau tanda-tanda berdasarkan penampakan lahiriahnya.
Dalam budaya katuranggan, terdapat beberapa ciri perempuan yang menjadi idealitas lelaki untuk dijadikan istri. Tipe-tipe perempuan demikian, di antaranya disebut guntur madu, merica pecah, tasik madu, sri tumurun, puspa megar, surya surup, menjangan ketawan, amurwa tarung, atau mutyara.
          Sebagai gambaran, perempuan bertype surya sumurup itu perempuan yang memiliki dua lapis bibir yang berwarna merah jambu. Sorot matanya kebiru-biruan. Ada sinom (rambut yang tumbuh di dahi) yang menggumpal. Kedua alisnya nanggal sepisan (laksana bulan sabit). Perempuan seperti ini menjadi idaman kaum lelaki karena memiliki kesetiaan tak diragukan lagi. Lebih dari itu,  ia tipe perempuan yang serasi dalam bermain asmara, sehingga dapat mencapai derajat marlupa (orgasme) bersama-sama.
     Ekspresi budaya katuranggan ini juga terungkap, misalnya dalam Kitab Primbon Lumanakim Adammakna. Disebutkan, ciri perempuan yang menggairahkan secara seksual antara lain, bertubuh kecil, wajahnya merah bersemu biru manis, rambut hitam panjang, sinom menggumpal. Atau, bertubuh kecil, pandangan dan wajahnya nguwung (agak melengkung), kulit kuning bersemu hijau, sinom menggumpal. Atau, bertubuh tinggi langsing, badan mbambang (padat berisi), roman mukanya galak, dan rambutnya panjang. Masih banyak lagi ciri perempuan menggairahkan lainnya.
Seperti diungkapkan hal ini tentu saja tidak semua tipe perempuan cocok dengan tipe ideal seperti itu. Masih ada tipe-tipe lain yang merupakan tipe campuran dari sebagian atau keseluruhan wacana keluruhan tiap-tiap tipenya. Memang rumit dan kompleks, karena seks, tidak bisa dinilai hanya dari segi penampilan lahiriahnya semata. dan pula masalah selera maupun kecocokan itu setiap personal berbeda-beda.

Jamu dan tatakarama
      Ritualisasi seksual juga diungkapkan dalam Serat Centhini , termasuk soal tata krama dalam melakukan hubungan seksual antarsuami-istri.
Dalam berhubungan, misalnya, harus empan papan. Maksudnya, mengetahui situasi, tempat, dan keadaan, tidak tergesa-gesa, dan juga merupakan keinginan bersama.
Selain mendasarkan diri pada tata krama menurut budaya Jawa, tata krama ini juga mendasarkan diri pada hadis Nabi Muhammad SAW. Misalnya, sebelum melakukan hubungan seksual, seyogianya mandi terlebih dahulu. Setelah itu berdandan dan memakai wewangian. Sebelum mulai, berdoa lebih dulu dengan mengucapkan syahadat.
              Masyarakat Jawa juga mengenal kalender seksual. “Ini berkaitan dengan masalah rasa perempuan, yang berhubungan dengan organ genital seksualnya. Satu asumsi bahwa setiap hari organ genital seksual yang sensitif pada perempuan selalu berpindah tempat, sesuai dengan tinggi rendahnya Bulan — ini berdasar pada kalender Jawa. Dengan mendasarkan pada kalender seksual, pasangan dapat mencapai puncak kepuasan secara bersama-sama,” .        Selain diungkap mengenai tata cara, etika, dan ritualisasi, dalam Serat Centhini II (Pupuh Asamaradana) diulas pula bentuk-bentuk serta pose hubungan seksual yang seharusnya dilakukan. Semua itu dimaksudkan agar pasangan dapat mencapai kepuasan bersama-sama. “Hubungan seksual tidak hanya sekadar pemuasan nafsu lelaki maupun perempuan, tetapi juga sebagai bentuk ungkapan perasaan cinta kasih, proses prokreasi, dan seks sekaligus sebagai wahana ibadah.
      Dalam Serat Centhini IV (Pupuh Balabak) dijelaskan dengan gamblang posisi berhubungan seksual sebagaimana ajaran Jawa. Dalam melakukan penetrasi, misalnya, harus tetap pula melihat tipe perempuan pasangannya. Maka kemudian ada gaya kadya galak sawer (patukannya laksana ular galak); lir ngaras gandane sekar (seperti meraba baunya bunga); lir bremana ngisep sekar (laksana kumbang mengisap madu); lir lumaksana pinggire jurang (ibarat berada di tepi jurang); baita layar anjlog rumambaka (seperti kapal layar turun ke tengah laut) dan sebagainya.
        Dalam masyarakat Jawa lalu dikenal pula berbagai resep jalu usada (pengobatan seksual) agar lelaki jadi perkasa. Misalnya, untuk mencegah agar air mani tidak encer sehingga dapat memperoleh keturunan, seperti dijumpai dalam Serat Centhini VII (Pupuh Dhandhanggula). Resepnya berupa merica sunti dan cabe wungkuk tujuh buah, garam lanang, arang kayu jati, gula aren seperempat. Semua bahan itu dipipis hingga lembut di tengah halaman pada saat siang hari. Sesudah itu dibentuk seperti kapsul.
Jamu berbentuk mirip kapsul itu ditelan sambil membaca mantra, “Sang dewa senjata akas-akas, kurang baga luwih akase, kurang baga akukuh, ora ana patine.”


Kamis, 22 September 2011

Serba- Serbi : ASAL USUL LIPSTIK



Jika mata adalah jendela jiwa, bibir adalah cermin dari karakter dan temperamen seseorang. Merias bibir mengalami sejarah panjang dan memiliki berbagai pola pada periode yang berbeda.
Hal ini diyakini bahwa merias bibir pada awalnya dilakukan pada ritual keagamaan. Seiring waktu berlalu, orang menyadari bahwa itu bisamenghidupkan semangat seseorang dan kadang-kadang bahkan bisa mengungkapkan status sosial seseorang. Sebagai akibatnya, bahan-bahan yang berbeda untuk produk kecantikan bibir terus menerus dikembangkan dan digunakan untuk membuat bibir merah dan cerah, membentuk seni makeup.

Pada zaman Tiongkok kuno, terutama di Dinasti Tang, ada tujuh langkah dalam membuat kosmetik untuk wanita cantik : alas bedak, menerapkan warna kewajah, mewarnai alis mata, menerapkan "warna emas pada dahi", melukis lesung, menghiasi pipi dan memulas pewarna bibir, yang menjadi cikal bakal lipstik modern saat ini. Produk kecantikan bibir di Tiongkok kuno yang biasanya disebut lip balm, sebagaimana dicatat oleh kamus Tiongkok berjudul Shiming yang ditulis oleh Liu Xi pada Dinasti Han Timur (AD25-AD220).

         Lipstik pada mulanya tidak seperti lipstik yang kita lihat sekarang ini, namun berbentuk pastayang diletakkan dalam wadah tertentu. Setelah Dinasti Sui(589 AD - 618 AD) dan Tang, beberapa poles bibir diolah menjadi zat padat, dicetak dalam bentuk tertentu. Karena mudah dibawa kemana-mana , jenis baru ini segera mendapatkan popularitas. Produksi dari poles bibir tidak mengalami inovasi besar hanya zaman modern sekarang mulai diadakan inovasi. Lipstik di Tiongkok kuno juga mengandung aroma wangi yang fantastis. Di dinasti Utara (AD 386-AD 581) bahan baku dari poles bibir antara lain Ageratum dan cengkeh. Pada Dinasti Tang, rasa buatan ditambahkan ke poles bibir.Namun dalam perkembangan jaman, di era modern warna lipstick menjadi warna warni sesuai trend dan bahannya ada bahan pengawet yang mengandung unsur kimianya, seiring diterapkannya larangan memakai bahan –bahan kimia produsen mengembangkan bahan dasar alami yang diproses. Mengapa orang memakai lipstick ? jelas untuk menarik perhatian orang lain atau menjaga kecantikan dalam dirinya.

Kamis, 15 September 2011

MENANG TAN NGASOR'AKE ( Menang Tanpa Mengalahkan )


MENANG sejati, sejatining menang. Itulah yang semestinya menjadi falsafah oleh setiap petarung sejati. Dalam ungkapan RM Sosrokartono yang amat populer itu, menang tanpa ngasorake, menang tanpa mengalahkan, begitulah yang dianggap sebagai kemenangan yang paling sublime.
Paradoks kesannya, jika tidak malah bisa dianggap ‘ngayawara’ atau muskil realitanya. Sebab, bagaimana mungkin seseorang bisa menang kalau tidak mengalahkan. Bukankah jika yang berada di satu ujung menang, yang berada di ujung lain pastilah yang kalah. Bila yang satunya memenangi, pastilah yang satunya terkalahkan.
Namun begitulah salah satu dari khasanah ungkapan Jawa yang kaya akan paradoks itu. Bukankah dalam ungkapan yang tergolong isbat, kita juga akan menemu ungkapan semacam ‘’goleka tapake kuntul nglayang’’ (carilah bekas telapak bangau melayang) atau ‘’golek’ana galihe kangkung’’ (carilah galih kangkung).  Memang ‘’menang tan ngasorake’’ bukanlah sebuah ungkapan yang ‘’berdiri sendiri’’. Ini lazim dirangkaikan dengan ungkapan seperti ‘’nglurug tanpa bala’’ (menyerbu tanpa pasukan), ‘’sekti  tanpa aji’’ (sakti tanpa ajian),  atau bahkan ‘’dhuwur tan ngungkuli’’ (tinggi tak melampaui) dan ‘’kebat tan nglancangi’’ (cepat tidak menyalip). Ada pula ‘’punjul ing apapak’’ dan ‘’mrojol ing akerep’’.  Semua itu sering dianggap sebagai pertanda jalma limpad seprapat tamat, yakni manusia pinunjul atau janma kinacek ( manusia yang mempunyai daya lebih )
Lagi-lagi, deretan ungkapan itu penuh dengan aroma paradoksal. Namun justru di sana sebenarnya bersemayam spirit yang paling khas dalam pola pergaulan Jawa yang ditentukan oleh dua prinsip utama: rukun dan kurmat ( hormat ). Di manakah letaknya?
Sebagaimana sering disebut dalam etika Jawa, orang Jawa sebisa mungkin menghindari konflik fisik (termasuk adu mulut) secara terbuka, apalagi bertemu muka, dengan orang lain. Kalaupun pandangan dengan orang lain berbeda, biasanya diungkapan dengan cara yang halus, entah lewat pasemon( pertemuan ) yang lain . Sebab, sebagaimana termaktub dalam Wedhatama, janma ingkang wus waspadeng semu, sinamun ing samudana, sesadon ing adu manis. Pilihan dengan cara ungkap semacam itu sama sekali bukan karena rasa takut. Bukan, melainkan sebagai pengejawantahan ( manifestasi ) sikap yang mengutamakan kerukunan. Boleh saja pendapat atau sikap itu berbeda dari yang lain, atau boleh saja ada anggapan bahwa pendapat orang lain itu salah atau lemah, tetapi semua itu tidak perlu ditunjukkan secara thok-leh ( begitu saja ) sehingga membuat orang lain terpermalukan atau menjadi malu.
Cara ungkap semacam itu bukannya tanpa prasyarat. Kemampuan untuk mengendalikan diri, kesanggupan untuk selalu menahan hawa nafsu (meper hardaning nepsu ) menaklukkan merupakan prasyarat utamanya. Tanpa itu, justru yang terekspresikan adalah hasrat untuk meraih keunggulan dengan jalan mengalahkan, tak peduli itu akan meng-asor-kan atau mempermalukan.
Dengan demikian, menang tanpa ngasorake sebagai sebuah imperatif halus untuk senantiasa rendah hati (bukan rendah diri!) dan tidak sombong. Dengan begitu pula, tidak akan terjebak pada sikap adigang, adigung, adiguna, sapa sira sapa ingsun. Yakni tidak menyombongkan kekuatan, kekuasaan-kekayaan, maupun kepintaran  dengan memandang sebelah mata mitra tarung.
Nglenggana KalahSungguh tak mudah untuk menjalankan tata kelola atas kemenangan, apalagi kekalahan. Lebih-lebih jika harus menjadi pemenang sejati yang tidak lupa diri atau menjadi petarung yang bisa nglenggana atas kekalahannya dengan penuh kelapangan dada.
Sebagaimana semua pertarungan, selalu ada yang keluar sebagai pemenang. Ada pula yang belum menang —jika boleh disebut kalah. Siapa pun yang menang pasti senang, sebaliknya yang terpecundangi akan sebaliknya. Sekalipun demikian, ukuran atas kemenangan bagi setiap orang tidaklah selalu sama. Itu lantaran setiap orang memiliki persepsi yang tak sama terhadap kemenangan. Itu lantaran setiap orang bisa jadi pula berbeda dalam memaknai pertempuran yang dihadapi.
Dalam pertarungan, menang dan kalah itu biasa. Kalau sudah mau bertarung, mesti pula siap menang. Jika siap menang, mesti juga siap kalah. Kalau belum berhasil dalam pertarungan itu, bukan berarti sudah hilang segala kesempatan. Nglenggana terhadap kekalahan adalah kemenangan tersendiri yang bukan tidak mungkin akan menjadi investasi besar untu menggapai menggapai menang tan ngasorake kemenangan yang lebih besar dan bahkan agung.  Di situlah optimisme mesti diletakkan dengan lambaran sikap ksatria.
Kekalahan bukanlah akhir segalanya. Orang yang berpikir positif dan tak kenal putus asa akan mampu mengubah kekalahan menjadi kemenangan. Sebaliknya, orang yang berpikir negatif menjadikan kekalahan sebagai awal keterpurukan yang lebih dalam. Begitu pula kemenangan, bukanlah puncak dari segalanya. Kemenangan bukan tidak mungkin akan berubah menjadi kekalahan, setiadaknya bukan tergolong sebagai kemengan sejati. Kemenangan bisa membuat seseorang lupa diri sehingga hanya memikirkan diri sendiri atau paling tidak hanya mengutamakan diri sendiri. Itu seperti dicontohkan oleh Arjuna selepas mengalahkan Niwatakawaca dan di depan pintu kanugrahan dan harus menerima imbalan atas kemenangan yang diraihnya.
Arjuna lupa bahwa kemenangan dan anugerah dewata sebagai buah atas kemenangannya itu bukan untuk dirinya sendiri, bukan pula hanya bagi keluarga inti Pandawa yang hanya terdiri atas lima orang itu. Arjuna lupa bahwa kemenangan dalam Bharatayuda bahkan lebih dari sekadar kemenangan seluruh keluarga besar Pandawa, tetapi kemenangan seluruh warga negeri yang telah menyumbangkan jiwa-raga-harta dan cinta mereka.
Akhirnya, dengan menang tanpa ngasorake, yang menang tidak akan lupa diri dan tampak jumawa. Yang kalah juga tidak akan menjadi pihak yang ‘’sudah jatuh tertimpa tangga pula’’. Dengan penerimaan macam begini, yang kalah tetap bisa menegakkan kepalanya tanpa harus diselimuti perasaan nista dan hina-dina. Itu, lagi-lagi, karena yang menang menempuh kemenangan dengan cara elegan, tanpa harus mempermalukan lawan yang dikalahkan. Semua melengkapi diri dengan sikap ksatria, bahkan ksatria pinandhita. [Binde Noer]

Sabtu, 10 September 2011

MENGENAL FALSAFAH JAWA


Apakah filsafat Jawa ketinggalan jaman ?
Banyak yang menganggap filosofi yang diberikan oleh para leluhur terutama di Jawa , saat ini dinilai sebagai hal yang kuno dan ketinggalan jaman. Padahal, filosofi leluhur tersebut berlaku terus sepanjang hidup. Dibawah ini ada beberapa contoh filosofi dari para leluhur/nenek moyang masyarakat Jawa.

"Dadio banyu, ojo dadi watu" (Jadilah air, jangan jadi batu).

Kata-kata singkat yang penuh makna. Kelihatannya jika ditelaah memang manungso kang nduweni manunggaling roso itu harus tahu bagaimana caranya untuk dadi banyu.

Mengapa kita manusia ini harus bisa menjadi banyu (air)? Karena air itu bersifat menyejukkan. Ia menjadi kebutuhan orang banyak. Makhluk hidup yang diciptakan  ALLAH SWT pasti membutuhkan air. Nah, air ini memiliki zat yang tidak keras. Artinya, dengan bentuknya yang cair, maka ia terasa lembut jika sampai di kulit kita.

Berbeda dengan watu (batu). Batu memiliki zat yang keras. Batu pun juga dibutuhkan manusia untuk membangun rumah maupun apapun. Pertanyaannya, lebih utama manakah menjadi air atau menjadi batu? Kuat manakah air atau batu?

Orang yang berpikir awam akan menyatakan bahwa batu lebih kuat. Tetapi bagi orang yang memahami keberadaan kedua zat tersebut, maka ia akan menyatakan lebih kuat air. Mengapa lebih kuat air daripada batu? Jawabannya sederhana saja, Anda tidak bisa menusuk air dengan belati. Tetapi anda bisa memecah batu dengan palu.

Artinya, meski terlihat lemah, namun air memiliki kekuatan yang dahsyat. Tetes demi tetes air, akan mampu menghancurkan batu. Dari filosofi tersebut, kita bisa belajar bahwa hidup di dunia ini kita seharusnya lebih mengedepankan sifat lemah lembut bak air. Dunia ini penuh dengan permasalahan. Selesaikanlah segala permasalahan itu dengan meniru kelembutan dari air. Janganlah meniru kekerasan dari batu. Kalau Anda meniru kerasnya batu dalam menyelesaikan setiap permasalahan di dunia ini, maka masalah tersebut tentu akan menimbulkan permasalahan baru.

"Sopo Sing Temen Bakal Tinemu"

Filosofi lainnya adalah kata-kata "Sopo sing temen, bakal tinemu" (Siapa yang sungguh-sungguh mencari, bakal menemukan yang dicari). Tampaknya filosofi tersebut sangat jelas. Kalau Anda berniat untuk mencari ilmu nyata ataupun ilmu sejati, maka carilah dengan sungguh-sungguh, maka Anda akan menemukannya.

Namun jika Anda berusaha hanya setengah-setengah, maka jangan kecewa jika nanti Anda tidak akan mendapatkan yang anda cari. Filosofi di atas tentu saja masih berlaku hingga saat ini.

"Sopo sing kelangan bakal diparingi, sopo sing nyolong bakal kelangan"
(Siapa yang kehilangan bakal diberi, siapa yang mencuri bakal kehilangan).


Filosofi itupun juga memiliki kesan yang sangat dalam pada kehidupan. Artinya, nenek moyang kita dulu sudah menekankan agar kita tidak nyolong (mencuri) karena siapapun yang mencuri ia bakal kehilangan sesuatu (bukannya malah untung).

Contohnya, ada orang yang kemalingan. Ia akan kehilangan uang atau apapun yang dimilikinya tetapi  ALLAH Swt akan menggantinya dengan memberikan gantinya pada orang yang kehilangan tersebut. Tetapi bagi orang yang mengambil, sebenarnya ia untung karena mendapatkan uang atau apapun itu. Namun,ia bakal dibuat kehilangan oleh  Sang Maha Pengadil, entah dalam bentuk apapun. dan tentu saja pasti ada siksaan yang lebih berat.

Hal ini seperti yang sedang terjadi di negeri kita, banyaknya koruptor atau maling, karena kurangnya pemahaman atau justru banyak yang meninggalkan wejangan para leluhur kita. dan bisa jadi tidak adanya  pendidikan moral atau budi pekerti di sekolah2 di negara kita.

Dari filosofi - filosofi tersebut diatas, Nenek moyang kita sudah memberikan nasehat pada kita generasi penerus tentang keadilan ALLAH SWT itu. 

HIP HOP JAWA

SEXI DAN CANTIK.......memang membuat laki-laki manapun matane ijo kalo melihatnya.

VIDEO