Selasa, 14 Juni 2011

FILSAFAT DIBUTUHKAN ATAU TIDAK

Binde Noer
( penggemar filsafat saja )
Foto : Instalasi Pasar Ngasem Jogja
Sebenarnya tiap-tiap orang memiliki "filsafat"-nya sendiri-sendiri. Sebuah filsafat adalah cara untuk memandang dunia. Kita semua yakin bahwa kita tahu bagaimana membedakan yang salah dari yang benar, yang baik dari yang buruk. Hal-hal inilah yang sebenarnya merupakan hal-hal rumit yang telah menyita pemikiran dari para pemikir terbesar di dunia sepanjang sejarah. Ketika kita dihadapkan dengan fakta yang mengerikan akan hadirnya kejadian-kejadian seperti perang saudara di Afganistan, kemunculan kembali pengangguran massal, pembantaian di sebagian negara-negara benua Afrika yang bergejolak, banyak orang akan mengakui bahwa mereka tidak memahami hal-hal ini, dan seringkali mereka jatuh ke dalam rujukan-rujukan kabur semacam "watak manusia". Tapi apakah watak manusia ini, hal misterius yang dilihat sebagai sumber dari segala kejahatan dan katanya tidak akan pernah berubah sampai akhir jaman? Ini adalah pertanyaan filsafati yang mendasar, pertanyaan yang hanya sedikit yang berani menjawabnya. Kecuali orang-orang yang pikirannya telah dipermak dengan pemikiran religius, di mana mereka akan mengatakan bahwa Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya, telah menakdirkan kita menjadi seperti demikian. Mengapa orang perlu menyembah satu Keberadaan yang mempermainkan ciptaan-Nya sendiri, itu adalah pertanyaan yang bukan hak kami untuk menjawabnya. Mereka yang bersikeras bahwa mereka tidak menganut falsafah apapun telah jatuh ke dalam kekeliruan. Alam semesta membenci kekosongan. Orang-orang yang tidak memiliki satu falsafah yang tersusun secara koheren - rapi, teratur dan bersesuaian antar unsurnya - niscaya akan otomatis menjadi cermin dari ide-ide dan prasangka yang berlaku dalam masyarakat dan jaman di mana mereka hidup. Hal ini berarti, dalam konteks tertentu, bahwa kepala mereka akan penuh dengan ide-ide yang dicekokkan melalui koran, televisi, mimbar kotbah dan ruang-ruang kelas, semua yang secara setia merupakan cerminan dari kepentingan dan moralitas dari sistem kemasyarakat yang sedang berlaku. Kebanyakan orang biasanya berhasil berkayuh melalui lumpur kehidupan, sampai terjadi satu benturan besar yang memaksa mereka untuk meninjau kembali segala ide dan nilai yang telah menyertai mereka selama itu. Krisis masyarakat memaksa mereka untuk mempertanyakan banyak hal yang selama itu mereka anggap wajar. Pada masa-masa semacam itu, ide-ide yang kelihatannya jauh di cakrawala tiba-tiba menjadi sangat relevan. Semua orang yang ingin memahami kehidupan, bukan sekedar sebagai satu urutan kebetulan yang tak bermakna dan rutinitas tanpa berpikir, harus mengeluti filsafat, yaitu, dengan pemikiran yang diletakkan lebih tinggi dari segala masalah mendesak yang dihadapi sehari-hari. Hanya dengan cara inilah kita akan mengangkat diri kita ke tingkatan di mana kita mulai mencapai kepenuhan potensi kita sebagai umat manusia yang memiliki kesadaran, yang mau dan mampu mengendalikan nasib kita sendiri. Secara umum dipahami bahwa apapun yang berharga dalam hidup ini harus diperjuangkan. Studi filsafat, dari sifat dasarnya, melibatkan beberapa kesulitan, karena studi itu menangani hal-hal yang jauh terpisah dari dunia pengalaman sehari-hari. Bahkan istilah yang digunakan mengandung kesulitan-kesulitan karena kata-kata digunakan dengan susunan yang tidak selalu berhubungan dengan makna di mana katakata itu dipergunakan sehari-hari. Tapi, hal yang sama terjadi pula dalam berbagai bidang studi khusus, dari psikoanalisa sampai permesinan. Hambatan yang kedua lebih serius lagi. Di abad yang lalu, ketika Marx dan Engels pertama menerbitkan tulisan-tulisan mereka tentang materialisme dialektik, mereka dapat mengasumsikan bahwa banyak pembaca mereka setidaknya memiliki pengalaman bergaul dengan filsafat klasik, termasuk Hegel. Kini mustahil membuat asumsi semacam itu. Filsafat tidak lagi menempati tempat sepenting dulu, karena spekulasi atas alam raya telah digantikan oleh ilmu pengetahuan. Adanya teleskop-radio dan pesawat antariksa membuat kita tidak perlu lagi menerka-nerka sifat dan cakupan dari system tata-surya kita. Bahkan misteri kejiwaan manusia kini semakin tersingkap oleh neurobiologi dan psikologi. Situasinya tidak sebaik itu di bidang ilmu-ilmu sosial, terutama karena gairah untuk mencapai pengetahuan yang akurat kini telah demikian berkurang sehingga ilmu pengetahuan justru menjadi hambatan bagi kepentingan material yang mengatur kehidupan manusia. Kemajuan-kemajuan besar yang dicapai oleh Marx dan Engels dalam bidang-bidang analisis sosial dan sejarah dan ekonomi tidak termasuk cakupan dari buku ini. Cukuplah jika kami menunjukkan bahwa, sekalipun terus-menerus diserang dengan ganas sejak kelahirannya, teori Marxisme tentang perkembangan social telah menjadi satu faktor penentu dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial modern. Untuk bukti tentang kebugaran dan keperkasaan teori ini, cukuplah kita melihat fakta bahwa serangan kepadanya bukan hanya berlanjut, tapi malah semakin meningkat intensitasnya seiring dengan berjalannya waktu. Di masa lalu, perkembangan ilmu pengetahuan, yang selalu terkait erat dengan perkembangan kekuatan produktif, belumlah mencapai tingkat yang cukup tinggi untuk membuat orang sanggup memahami dunia yang mereka huni. Karena ketiadaan satu pengetahuan yang ilmiah, atau alat material untuk menggapai pengetahuan itu, mereka terpaksa menyandarkan diri pada satu-satunya alat milik mereka yang dapat membantu mereka untuk memahami dunia, dan untuk dapat mengendalikannya - nalar manusia. Perjuangan untuk memahami dunia sangat dekat dengan perjuangan umat manusia untuk melepaskan diri dari tingkatan kesadaran hewani, untuk menguasai kekuatan alam yang membabi-buta itu dan untuk membebaskan diri dalam makna yang sejati, bukan legalistik. Perjuangan ini adalah benang merah yang merajut seluruh rangkaian kesejarahan manusia.
( Bersambung sesuk meneh ) to be continued 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VIDEO