MENANG sejati, sejatining menang.
Itulah yang semestinya menjadi falsafah oleh setiap petarung sejati. Dalam ungkapan RM
Sosrokartono yang amat populer itu, menang tanpa ngasorake, menang tanpa
mengalahkan, begitulah yang dianggap sebagai kemenangan yang paling sublime.
Paradoks kesannya, jika tidak malah
bisa dianggap ‘ngayawara’ atau muskil realitanya. Sebab, bagaimana mungkin
seseorang bisa menang kalau tidak mengalahkan. Bukankah jika yang berada di
satu ujung menang, yang berada di ujung lain pastilah yang kalah. Bila yang
satunya memenangi, pastilah yang satunya terkalahkan.
Namun begitulah salah satu dari khasanah
ungkapan Jawa yang kaya akan paradoks itu. Bukankah dalam ungkapan yang
tergolong isbat, kita juga akan menemu ungkapan semacam ‘’goleka tapake kuntul nglayang’’
(carilah bekas telapak bangau melayang) atau ‘’golek’ana galihe kangkung’’ (carilah
galih kangkung). Memang ‘’menang tan ngasorake’’ bukanlah
sebuah ungkapan yang ‘’berdiri sendiri’’. Ini lazim dirangkaikan dengan
ungkapan seperti ‘’nglurug tanpa bala’’ (menyerbu tanpa pasukan), ‘’sekti
tanpa aji’’ (sakti tanpa ajian), atau bahkan ‘’dhuwur tan
ngungkuli’’ (tinggi tak melampaui) dan ‘’kebat tan nglancangi’’ (cepat tidak
menyalip). Ada pula ‘’punjul ing apapak’’ dan ‘’mrojol ing akerep’’. Semua
itu sering dianggap sebagai pertanda jalma limpad seprapat tamat, yakni manusia
pinunjul atau janma kinacek ( manusia yang mempunyai daya lebih )
Lagi-lagi, deretan ungkapan itu
penuh dengan aroma paradoksal. Namun justru di sana sebenarnya bersemayam
spirit yang paling khas dalam pola pergaulan Jawa yang ditentukan oleh dua
prinsip utama: rukun dan kurmat ( hormat ). Di manakah letaknya?
Sebagaimana sering disebut dalam
etika Jawa, orang Jawa sebisa mungkin menghindari konflik fisik (termasuk adu
mulut) secara terbuka, apalagi bertemu muka, dengan orang lain. Kalaupun
pandangan dengan orang lain berbeda, biasanya diungkapan dengan cara yang
halus, entah lewat pasemon( pertemuan ) yang lain . Sebab, sebagaimana
termaktub dalam Wedhatama, janma ingkang
wus waspadeng semu, sinamun ing samudana, sesadon ing adu manis. Pilihan dengan
cara ungkap semacam itu sama sekali bukan karena rasa takut. Bukan, melainkan
sebagai pengejawantahan ( manifestasi ) sikap yang mengutamakan kerukunan.
Boleh saja pendapat atau sikap itu berbeda dari yang lain, atau boleh saja ada
anggapan bahwa pendapat orang lain itu salah atau lemah, tetapi semua itu tidak
perlu ditunjukkan secara thok-leh ( begitu saja ) sehingga membuat orang lain
terpermalukan atau menjadi malu.
Cara ungkap semacam itu bukannya
tanpa prasyarat. Kemampuan untuk mengendalikan diri, kesanggupan untuk selalu
menahan hawa nafsu (meper hardaning nepsu
) menaklukkan merupakan prasyarat utamanya. Tanpa itu, justru yang
terekspresikan adalah hasrat untuk meraih keunggulan dengan jalan mengalahkan,
tak peduli itu akan meng-asor-kan atau mempermalukan.
Dengan demikian, menang tanpa
ngasorake sebagai sebuah imperatif halus untuk senantiasa rendah hati (bukan
rendah diri!) dan tidak sombong. Dengan begitu pula, tidak akan terjebak pada
sikap adigang, adigung, adiguna, sapa sira sapa ingsun. Yakni tidak menyombongkan
kekuatan, kekuasaan-kekayaan, maupun kepintaran dengan memandang sebelah
mata mitra tarung.
Nglenggana KalahSungguh
tak mudah untuk menjalankan tata kelola atas kemenangan, apalagi kekalahan.
Lebih-lebih jika harus menjadi pemenang sejati yang tidak lupa diri atau
menjadi petarung yang bisa nglenggana atas kekalahannya dengan penuh kelapangan
dada.
Sebagaimana semua pertarungan,
selalu ada yang keluar sebagai pemenang. Ada pula yang belum menang —jika boleh
disebut kalah. Siapa pun yang menang pasti senang, sebaliknya yang terpecundangi
akan sebaliknya. Sekalipun demikian, ukuran atas kemenangan bagi setiap orang
tidaklah selalu sama. Itu lantaran setiap orang memiliki persepsi yang tak sama
terhadap kemenangan. Itu lantaran setiap orang bisa jadi pula berbeda dalam
memaknai pertempuran yang dihadapi.
Dalam pertarungan, menang dan kalah
itu biasa. Kalau sudah mau bertarung, mesti pula siap menang. Jika siap menang,
mesti juga siap kalah. Kalau belum berhasil dalam pertarungan itu, bukan
berarti sudah hilang segala kesempatan. Nglenggana terhadap kekalahan adalah
kemenangan tersendiri yang bukan tidak mungkin akan menjadi investasi besar
untu menggapai menggapai menang tan ngasorake kemenangan yang lebih besar dan
bahkan agung. Di situlah optimisme mesti diletakkan dengan lambaran sikap
ksatria.
Kekalahan bukanlah akhir segalanya.
Orang yang berpikir positif dan tak kenal putus asa akan mampu mengubah
kekalahan menjadi kemenangan. Sebaliknya, orang yang berpikir negatif
menjadikan kekalahan sebagai awal keterpurukan yang lebih dalam. Begitu pula
kemenangan, bukanlah puncak dari segalanya. Kemenangan bukan tidak mungkin akan
berubah menjadi kekalahan, setiadaknya bukan tergolong sebagai kemengan sejati.
Kemenangan bisa membuat seseorang lupa diri sehingga hanya memikirkan diri
sendiri atau paling tidak hanya mengutamakan diri sendiri. Itu seperti
dicontohkan oleh Arjuna selepas mengalahkan Niwatakawaca dan di depan pintu
kanugrahan dan harus menerima imbalan atas kemenangan yang diraihnya.
Arjuna lupa bahwa kemenangan dan
anugerah dewata sebagai buah atas kemenangannya itu bukan untuk dirinya
sendiri, bukan pula hanya bagi keluarga inti Pandawa yang hanya terdiri atas
lima orang itu. Arjuna lupa bahwa kemenangan dalam Bharatayuda bahkan lebih
dari sekadar kemenangan seluruh keluarga besar Pandawa, tetapi kemenangan
seluruh warga negeri yang telah menyumbangkan jiwa-raga-harta dan cinta mereka.
Akhirnya, dengan menang tanpa
ngasorake, yang menang tidak akan lupa diri dan tampak jumawa. Yang kalah juga
tidak akan menjadi pihak yang ‘’sudah jatuh tertimpa tangga pula’’. Dengan
penerimaan macam begini, yang kalah tetap bisa menegakkan kepalanya tanpa harus
diselimuti perasaan nista dan hina-dina. Itu, lagi-lagi, karena yang menang
menempuh kemenangan dengan cara elegan, tanpa harus mempermalukan lawan yang
dikalahkan. Semua melengkapi diri dengan sikap ksatria, bahkan ksatria
pinandhita. [Binde Noer]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar